Pages

EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management)

EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) atau Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan merupakan pengelolaan perikanan dengan ekosistem dengan memperhatikan samua aspek yaitu: Habitat, Sumber Daya Ikan, Teknologi Penangkapan, Sosial masyarakat, Ekonomi, Kelembagaan, seperti yang terlihat pada gambar berikut.





Konsep dan implementasi EAFM ini di terapkan di empat Negara yaitu Indonesia, Filipina, Tanzania dan Solomon Islands. Kenapa EAFM?
1.      Penurunan Sumber Daya Ikan
2.      Rusaknya habitat perairan, pesisir dan laut
3.      Pemahaman dan kesadaran manusia
Tiga hal tersebuut merupakan tolak ukur untuk diterapannya EAFM di suatu kawasan atau daerah. Dari tahun ke tahun data hasil perikanan tangkap rata-rata diseluruh wilayah di Indonesia mengalami penurunan, hal ini disebabkan oleh rusaknya habitat perairan, pesisir dan laut, kerusakan alam ini bisa saja disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, pembuangan limbah yang sembarangan dan lain sebagainya. Dengan demikian pemahaman dan kesadaran kita akan pentingnya menjaga ekosistem sangat dibutuhkan agar ketersediaan stok ikan tetap terjaga.
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai : an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries.
Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain adalah (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3 perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).
Berdasarkan definisi dan prinsip EAFM tersebut di atas, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini paling tidak menyangkut perubahan kerangka berpikir (mindset) misalnya bahwa otoritas perikanan tidak lagi hanya menjalankan fungsi administratif perikanan (fisheries administrative functions), namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan atau fisheries management functions (Adrianto et al, 2008)
            Selain itu Implementasi EAFM di dalamnya mencakup: Perencanaan kebijakan yang menitikberatkan pada pernyataan komitmen dan pengambilan keputusan terkait implementasi EAFM (pemangku kepentingan, masyarakat dll), kemudian Perencanaan strategi (Strategic plan) yang merupakan formulasi strategi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapakan pada rencana kebijakan, dan selanjutnya adalah Rencana pengelolaan (managemen plan) yang menitikberatkan pada rencana aktivitas dan aksi yang lebih detail termasuk didalamnya terkait dengan koordinasi rencana aktivitas stakeholder, rencana pengendalian, pemanfaatan dan penegakan aturan main yang telah ditetapkan di rencana strategis


Alat Bantu Navigasi


        
          Sejak manusia mengenal sarana apung sebagai alat transportasi sarana penangkapan, maka sejak itu pula tindakan navigasi telah dilakukan, yaitu suatu cara yang dilakukan secara terus menerus untuk mengarahkan sarana apungnya menuju suatu titik sasaran dengan tepat, hemat dan efisien. Untuk mencapai titik sasaran tersebut selain dengan menggunakan cara yang telah disebutkan diatas, dapat juga dengan menggunakan alat bantu agar memudahkan dalam pencapaian sasaran yang dimaksud (Wahyono dan Sjarif, 2004).
1. Beberapa jenis alat bantu navigasi antara lain :
a.       Kompas magnet,
    Berfungsi untuk menentukan arah pelayaran kapal dan untuk menentukan arah baringan suatu benda terhadap kapal. Pedoman magnet di kapal biasanya terdiri dari : Pedoman standart, Pedoman kemudi dan Pedoman kemudi darurat.
b.      Peta laut,
   Merupakan semua jenis peta yang digunakan untuk keperluan navigasi di lautan. Ia menggambarkan keadaan rinci tentang wilayah laut yang aman dilayari kapal-kapal, denagn tanda-tanda kedalaman air, adanya bahaya-bahaya navigasi baik yang kelihatan (di atas permukaan air) maupun yang terdapat di bawah permukaan air, serta benda-benda petunjuk untuk  bernavigasi.
c.       GPS,
     GPS aitu alat bantu navigasi yang bekerja berdasarkan penerimaan gelombang radio dari beberapa satelit yang mengorbit untuk mengetahui posisi, merekam arah haluan dan kecepatan kapal.
d.      Radar,
     Digunakan untuk mendeteksi obyek (sasaran) berdasarkan prinsip pengukuran waktu tempuh yang diperlukan untuk merambatkan pulsa (denyut) sinyal gelombang elektromagnetik, sejak sinyal tersebut dipancarkan oleh transmitter hingga gema (echo) yang dipantulkan oleh obyek diterima pada receiver. Sinyal elektromagnetik yang dipantulkan oleh target (sasaran) ke pesawat penerima tersebut selanjutnya tergambar pada Display unit.
e.       Radio komunikasi,
     Peralatan bantu ini dikapal sangat penting agar antar kapal yang satu dan kapal yang lainnya dapat bertukar informasi pada waktu berlayar. Terdapat 3 frekuensi yaitu : VHF (Very High Frequency), HF (High Frequency) dan MF (Medium Frequency). Radio komunikasi ini walaupun dilengkapi berbagai frekuensi. Tapi yang sering digunakan dalam pelayaran adalah frekuensi 16.
f.       Fax cuaca,
  Digunakan untuk mengetahui keadaan cuaca pada saat berlayar. Dikirimkan dari stasiun (pangkalan) masing-masing kapal. Data tersebut merupakan olahan dari data satelit.
g.      RDF,
     Alat bantu navigasi yang bekerja berdasarkan penerimaan gelombang radio untuk mengetahui arah dan perkiraaan jarak pemancar. Suara yang dipancarkan akan mengalami penurunan energi maka sampai pada target (penerima suara) sudah tidak sekuat dari yang terdepan
h.      SART 
    Suatu alat yang disyaratkan dalam GMDSS (Global Maritime Distress and Safety System) yang dapat diintrogasi oleh pancaran pulsa radar khusus (Radar X-Brand atau Radar 3 cm) bila alat ini diaktifkan. Gunanya untuk pencarian kapal dalam marabahaya.

2.      Alat Bantu pelacak / deteksi
Alat bantu pelacak atau deteksi, ada 3 yaitu :
            1)      Fish finder atau Echosounder
Alat bantu navigasi yang bekerja berdasarkan pemancaran gelombang bunyi untuk mendeteksi kedalaman perairan, mendeteksi suatu obyek dalam perairan arah vertikal. Untuk tujuan perikanan sensitifitasnya ditingkatkan sehingga mampu mendeteksi adanya ikan dibawah permukaan air.
            2)      Sonar
Alat bantu navigasi yang bekerja berdasarkan prinsip kerja energi akustik,  pemancaran gelombang bunyi untuk mendeteksi suatu obyek dalam perairan arah horizontal dan vertical. Sonar dapat memberikan gambaran dan informasi tentang kedalaman, keadaan alami dasar serta konfigurasi bentuk dasar perairan kemudian pada kapal ikan digunakan untuk memperoleh informasi tentang ukuran, densitas, distribusi, kecepatan dan arah renang fish schools, serta mengetahui bentuk dan kedudukan jaring di dalam air, mengetahui ikan yang masuk ke dalam jaring
           3)      RDF
Alat bantu navigasi yang bekerja berdasarkan penerimaan gelombang radio untuk mengetahui arah dan perkiraaan jarak pemancar. Suara yang dipancarkan akan mengalami penurunan energi maka sampai pada target (penerima suara) sudah tidak sekuat dari yang terdepan.
Ketiga alat diatas walaupun termasuk dalam alat bantu navigasi tetapi fungsinya yang lain juga dapat digunakan untuk pendeteksi ikan. Karena alat tersebut mempunyai fungsi sebagai pencari atau pendeteksi ikan sehingga penangkapan ikan dapat berjaan dengan baik.

3.      Mesin Bantu Penangkapan ikan.
Mesin bantu penangkapan yang digunakan oeh kapal sangat tergantung pada alat tangkap yang digunakan. Mesin bantu penangkapan, pada umumnya hanya digunakan untuk membantu tenaga manusia di dalam proses penarikan atau pengangkatan alat penangkap ikan dan umumnya mesin bantu penangkap dipasang di atas geladak kapal. Tenaga mekanis yang dihasilkan, pada umumnya berupa putaran yang bisa diperoleh dari empat jenis sumber tenaga penggerak, anatar lain tenaga manusia, tenaga mesin otomotif (Diesel), tenaga listrik dan tenaga hidrolik.
4.      Alat Bantu Penangkapan Pada Longliners
      1)      Line Thrower ( Line Caster)
Kapal-kapal long line berskala industri yang sudah dilengkapi dengan line arranger, pada umumnya dilengkapi line throwerLine thrower disebut juga line caster merupakan alat bantu penangkapan sebagai alat pelontar tali utama yang digerakkan dengan tenaga elektrik hidrolik, diletakkan di buritan kapal, digunakan pada saat penebaran pancing (setting).
      2)      Line Hauler
Line hauler merupakan alat bantu penarik tali utama pada saat hauling berlangsung. Keberadaan alat ini mutlak diperlukan, karena tali yang ditebar di perairan tidak memungkinkan untuk ditarik menggunakan tangan biasa (manual), selain berat dari gaya beban dan gaya tarikan dari seluruh rangkaian long line juga akan memerlukan waktu yang lama sehingga dianggap tidak efisien. Line hauler pada umumnya digerakkan dengan tenaga elektro hidrolik, dilengkapi dengan tuas pengatur kecepatan tarik agar memudahkan penanganan penarikan tali utama, terutama pada saat menaikkan ikan hasil tangkapan atau saat terjadi kekusutan tali. Line hauler ditempatkan di geladag kerja hauling (hauling working space). Kekuatan tarik dari line haulerdisesuaikan dengan ukuran besar kecilnya kapal (Suwardiyono dan Nuryadi Sadono, 2004).
      3)      Line Arranger (Penyusun tali utama)
Pada kapal-kapal long line yang sudah modern peralatan bantu penangkapannya dilengkapai peralatan lain selain line haulerLine arranger ditempatkan diatas main line tank (tangki penyimpanan tali utama) merupakan alat bantu penangkapan yang berfungsi sebagai penarik dan penyusun tali utama agar tertata rapi di dalam main line tank (Suwardiyono dan Nuryadi Sadono, 2004).
      4)      Branch Line Ace dan Buoy Line Ace
Branch line ace ditempatkan pada geladag kerja di lambung kanan kapal dibelakang line hauler, merupakan alat bantu penangkapan sebagai penarik dan penggulung tali cabang (branch line) dengan menggunakan tenaga motor listrik. Sedangkan buoy line ace yang digunakan untuk menarik tali pelampung (buoy line) pada saat kegiatan haulingBranch line dan buoy line yang sudah diangkat dari air segera dilepas dari tali utama kemudian digulung dengan branch line ace setelah tergulung dan diikat lalu ditempatkan dalam basket (keranjang) (Suwardiyono dan Nuryadi Sadono, 2004).
      5)      Side RollerLine Guide Roller
Alat ini ditempatkan pada dinding atau tepi lambung kapal dan berfungsi untuk menjadikan main line terarah alurnya sehingga dapat mengarah ke line hauler. Bahan side roller terbuat dari baja stainless dan kerjanya secara aktif (Nur Bambang et al, 1999).
      6)      Slow Conveyor
Slow conveyor merupakan alat bantu penangkapan berupa ban berjalan lamban, ditempatkan melintang kapal di bawah line hauler. Fungsi line hauler adalah menggeser tali utama yang telah ditarik line hauler agar tidak menumpuk dibawah line hauler tersebut. Sementara main line bergeser mengikuti conveyor tersebut,main line ditarik oleh line arranger untuk disusun dan diatur pada tangki penyimpanan tali utama (Suwardiyono dan Nuryadi Sadono, 2004).
      7)      Branch Line Conveyor

Branch line conveyor adalah alat bantu penangkapan berupa ban berjalan. Alat ini ditempatkan di sisi kiri kapal yang berfungsi memindahkan atau menghantar peralatan penangkapan seperti branch line, pelampung, tali pelampung dari geladag kerja didepan ke gudang penyimpanan alat tangkap di buritan kapal. Pada kapal-kapal long line modern berukuran kecil biasanya tidak dilengkapi ini, karena jarak dari geladag kerja didepan dengan gudang penyimpanan alat tangkap titik jauh (Suwardiyono dan Nuryadi Sadono, 2004).

Teknik Dehidrasi dan Penggaraman Penanganan Hasil Perikanan





Yooo..! Genkideska ?
kali ini GPS dapet pertanyaan tentang Teknik Dehidrasi yang dipakai di Perikanan sama Perbedaan Teknik Penggaraman Sistem Kering dan Kench. Langsung aja kita bahas. !

Apa itu teknik dehidrasi dan seperti apa penerapannya dalam perkanan ??
       Dehidrasi adalah pengurngan kadar air dalam bahan pangan (ikan) sampai konsentrasi yang dapat menghambat aktivitas dan pertumbuhan mikroba. Ikan mengandung kadar air 60- 80 persen. Dengan kandungan air demikian, ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami proses pembusukan. Contohnya pada Pengasapan dan Pembuatan Ikan asin dengan cara di jemur di bawah sinar matahari.

Lanjut ke pertanyaan kedua---> :)

Apa perbedaan utama antara penggaraman sitim kering dan kench ?

          Pada dasarnya, teknik penggaraman Kench sama dengan pengaraman kering (dry salting) akan tetapi pada penggaraman Kench tidak mengunakan bak /wadah penyimpanan seperti halnya pada penggalaman kering (dry salting). Pada system Kench ikan yang telah disiangi dicampur dengan garam dan dibiarkan diatas lantai atau geladak kapal, larutan air yang terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang, sedangkan pada penggaraman kering (dry salting) ikan yang telah disiangi ditempatkan didalam wadah yang kedap air. Ikan disusun rapi dalam wadah selapis demi selapis dengan setiap lapisan ikan ditaburi garam. Lapisan paling atas dan paling bawah wadah merupakan lapisan garam. Garam yang digunakan pada proses penggaraman umumnya berjumlah 10 % - 35 % dari berat ikan yangdigarami. Pada waktu ikan bersentuhan dengan kulit / daging ikan (yang basah/berair), garam itu mula-mula akan membentuk larutan pekat. Larutan ini kemudian akan meresap kedalam daging ikan melalui proses osmosa. Jadi, kristal garam tidak langsung menyerap air, tetapi terlebih dahulu berubah jadi larutan. Semakin lama larutan akan semakin banyak dan ini berarti kandungan air dalam tubuh ikan semakin berkurang. Kelemahan dari cara ini adalah memerlukanjumlah garam yang lebih banyak dan proses penggaraman berlangsung sangat lambat.

Hmm~ mungkin itu, selebihnya mungkin bisa sobat GPS tambahin. semoga bermanfaat..!!!

Fermentasi Terasi


Setelah sebelunya kita bahas Fermentasi Ikan Peda nah sekarang masih di produk fermentasi terasi. Terasi juga salah satu produk olahan  dari  hasil perikanan  sebagai usaha  pemanfaatan  ikan atau  udang  yang  berkualitas   rendah  adalah terasi. hmm... langsung aja kita bahas.. !
Banyak makanan yang sering kita jumpai menggunakan terasi sebagai salah satu bahan yang digunakan, seperti digunakan untuk membuat sambal dan lain sebagainya. Kualitas terasi ditentukan dari bahan baku yang digunakan tentunya, terasi bermutu rendah biasanya dibuat dari limbah ikan, sisa ikan sortiran dengan bahan tambahan biasanya tepung tapioka atau tepung beras, dan berbagai jenis ikan kecil (teri) atau udang kecil (rebon). Terasi merupakan   produk  perikanan yang berbentuk pasta.
Umumnya terasi digunakan untuk campuran membuat sambal,  adakalanya  digunakan  pula untuk campuran pada masakan lain. Kandungan  padatan (protein,  garam, Ca dan sebagainya)  terasi  udang sekitar  27-30%, air   50-70%  dan  garam   15-20%.  Sedangkan terasi  yang dibuat  dari  kandungan protein  20-45%, kadar air 35-50%, garam 10-25% dan komponen lemak dalam jumlah yang kecil sedangkan kandungan vitamin B12 cukup tinggi.
Mikroba  yang   ditemukan   pada  produk akhir fermentasi dengan penambahan garam pada ikan  terutama dari  jenis  Micrococci  dan penurunan    pada    jumlah     mikroba Flavobacterium, Achromobacter, Pseudomonas, Bacillus   dan   Sarcina   yang   semula    banyak terdapat pada ikan. Mikroba yang dapat diisolasi dari terasi antara lain bakteri Micrococcus, Aerococcus, Corynebacterium, Flavobacterium, Cytophaga, Bacillus,    Halobacterium     dan   Acinetobacter selain beberapa jenis kapang.

Perubahan Selama Fermentasi
Campuran garam, rebon dan bahan-bahan lainnya pada pembuatan terasi pada awalnya   mempunyai   nilai  pH  sekitar   6  dan selama  proses fermentasi  pH terasi  yang terbentuk akan naik menjadi 6,5, akhir setelah terasi selesai terbentuk maka pH turun kembali menjadi 4,5. Apabila fermentasinya dibiarkan berlanjut maka akan terjadi peningkatan   pH dan pembentukan amonia. Apabila garam yang digunakan    selama    fermentasi    kurang ditambahkan   maka  campuran  tersebut  akan terus berlanjut  dan  akan  terjadi  pembusukan karena amonia yang terbentuk terdapat dalam jumlah yang besar.  Hal itu dapat terjadi apabila pemberian garam kurang dari 10%.
Selama proses fermentasi, protein terhidrolisis   menjadi   turunannya,  seperti protease,  pepton,  peptida  dan  asam  amino. Terasi   yang  mempunyai   kadar   air   26-42% adalah  terasi  yang baik,  karena apabila  kadar air   terasi   terlalu   rendah,  maka  permukaan terasi akan diselimuti oleh kristal-kristal garam dan tekstur terasi menjadi tidak kenyal. Apabila kadar air terasi terlalu tinggi maka terasi akan menjadi terlalu lunak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeraman atau proses fermentasi ikan untuk terasi  dapat menghasilkan  aroma  yang khas. Komponen   aroma  tersebut  berupa  senyawa yang mudah menguap terdiri  atas 16 macam senyawa   hidrokarbon,   7  macam   alkohol,  46 macam karbonil,  7 macam lemak,  34 macamsenyawa    nitrogen,    15    macam    senyawa belerang, dan  senyawa-senyawa  lainnya sebanyak  10  macam.  Persenyawaan tersebut antara  lain  akan   menghasilkan   bau  amonia, asam, busuk, gurih dan bau-bau khas lainnya. Adanya campuran komponen bau yang berbeda dengan jumlah yang berbeda pula akan menyebabkan pasta ikan mempuyai bau/aroma yang  khas  pula  menurut   daerah   asal   dan proses pembuatannya.
Komponen  cita rasa yang terdapat  pada terasi   dapat  dijabarkan   sebagai   berikut   ini. Asam lemak yang bersifat volatil menyebabkan bau keasaaman, sedangkan amonia dan amin menyebabkan  bau  anyir beramonia.  Senyawa belerang sederhana seperti sulfida, merkaptan dan  disulfida  menyebabkan  bau  yang merangsang pada terasi. Senyawa-senyawa karbonil besar sekali kemungkinannya dapat memberikan  bau  khusus yang terdapat  pada hasil-hasil   perairan   yang  diawetkan   dengan cara pengeringan,  penggaraman atau dengan cara fermentasi. Senyawa-senyawa volatil yang terdapat dalam terasi berasal dari lemak melalui proses oksidasi dan karena adanya aktivitas mikroba. Kandungan   karbonil   volatil   merupakan kandungan   senyawa   volatil   yang    tersebar diantara komponen volatil lainnya. Senyawa tersebut merupakan senyawa yang sangat menentukan cita rasa dari terasi. Cita rasa yang ditimbulkan  oleh  senyawa  karbonil selain  dari hasil  degradasi  lemak  juga  dapat ditimbulkan dari  reaksi  pencoklatan/browning  pada produk perikanan.

Fermentasi Ikan Peda

       
            
Tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita ketika mendengan ikan asin peda, namun taukah sobat GPS cara pembuatan ikan peda itu sendiri seperti apa dan bagaimana? ternyata pembuatan iakan peda adalah dengan menggunakan teknik fermentasi. Nahh.. daripada penasaran langsung aja kita bahas.. !

Pengolahan perikanan juga menghasilkan produk dengan teknik fermentasi yang bisa dbilang teknik ini cenderung lebih sederhana dbandingkan dengan teknik lain seperti teknik pembuatan pindang atau juga ikan asap.
Peda merupakan produk fermentasi dengan bahan baku ikan. Pada umumnya dibuat untuk ikan yang berkadar lemak tinggi. Selama fermentasi akan terjadi perubahan kimia antara lain proses reaksi  pada lemak  yang memberikan  cita rasa khas.
Jenis  ikan yang dapat diolah  menjadi  ikan Peda
            1)      ikan  Kembung,
            2)      ikan  Layang,
            3)      Selar,
            4)      ikan Mas,
            5)      Tawes dan
            6)      ikan Mujair.
Akan tetapi hasil  yang paling  memuaskan adalah dengan menggunakan ikan Kembung, baik Kembung betina maupun jantan. Sedangkan untuk jenis ikan lainnya memiliki cita rasa yang masih  kalah  dengan ikan Kembung bila diolah menjadi peda.

Jenis Peda
Berdasarkan pembuatannya dikenal dua jenis peda, yaitu peda putih dan peda merah. Perbedaan itu dikarenakan bahan baku yang digunakan.
Ciri-ciri peda yang baik
            1)      Berwarna merah segar,
            2)      Tekstur dagingnya maser,
            3)      pHnya 6,0-6,4,
Rasanya khas disebabkan adanya proses fermentasi. Pada umunya, konsumen lebih menyukai peda yang berwarna merah.  Hal ini karena peda yang berwarna merah kandungan lemaknya tinggi yang akan memenuhi cita rasa peda. Kandungan lemak peda merah berkisar antara 7-14% yang memberikan rasa gurih. Warna merah kemerahan merupakan salah satu faktor disenangi oleh konsumen. Disamping itu tekstur peda merah lebih maser dibandingkan peda putih.

Cara pengolahan ikan peda
Cara pengolahan ikan peda sangat bervariasi. Tahap-tahap pengolahan peda antara lain adanya sortasi terhadap bahan baku, proses pengaraman, fermentasi dan pematangan.
Untuk   pembuatan   peda   secara tradisional,   waktu  pematangan  tidak  terlalu lama  sehingga cita rasa yang dihasilkan  tidak terlalu   tajam. 
Pada  pembuatan  peda  dalam skala laboratorium telah   diadakan beberapa usaha untuk meningkatkan mutu peda,  yaitu penambahan  waktu fermentasi  dari  tiga  hari menjadi lima hari, membersihkan ikan dengan larutan garam 10%, penambahan antibiotik dan antioksidan, memperpanjang waktu pematangan menjadi 60 hari, menyimpan dalam wadah plastic yang terjamin kebersihannya, memberikan tambahan nutrisi bagi mikroba fermentasi dan penambahan starter  (bibit mikroba fermentasi) pada pembuatan peda.

Tahapan pengolahan peda
      1)      Sortasi terhadap bahan baku yang akan diolah, dilakukan penyiangan dengan membuang isi perut dan insang kemudian cuci bersih agar peda yang dihasilkan kualitasnya baik.
      2)      Ikan yang sudah disiangi dilakukan penggaraman 25%.
      3)      Disimpan dalam wadah dan disusun  berlapis, kemudian ditutup dan dilakukan proses fermentasi tahap pertama selama 1-2 hari.
    4)  Selanjutnya dilakukan pembongkaran dan dibersihkan dari garam, disimpan kembali kedalam wadah dan dilakukan  proses fermentasi  tahap kedua agar terbentuk cita rasa  yang khas. Tahap  itu  disebut dengan tahap pematangan. Pada tahap itu dapat dilakukan fermentasi   selama satu  minggu sampai beberapa bulan, tergantung pada cita rasa yang diinginkan.

Mikroorganisme yang Berperan
Bakteri yang ditemukan pada ikan peda terutama dari  jenis bakteri  gram  positif berbentuk koki, bersifat nonmotil, hidup secara aerob atau fakultatif anaerob, bersifat  katalase positif, serta  bersifat proteolitik. Disamping itu, kebanyakan bakteri tersebut juga bersifat indol dan  oksigen   negatif,  beberapa   diantaranya dapat   mereduksi    nitrat   dan   dapat menggunakan  sitrat   sebagai   sumber  karbon untuk hidupnya.
Bakteri yang diisolasi dari ikan peda mempunyai  sifat pertumbuhan yang mesofilik dengan pH 6-8 dan   termasuk  ke dalam kelompok bakteri haloteran sampai bakteri halofilik. Pada ikan ada bakteri yang membentuk warna merah/orange. Kebanyakan pigmen yang terdapat pada bakteri dapat diklasifikasikan ke dalam jenis pigmen karotenoid, antosianin, tripilrilmethen, dan phenazin.
Mikroba   yang   berperan   selama fermentasi  peda adalah  mikroba yang berasal dari ikan itu sendiri atau dari garam yang ditambahkan. Untuk mengetahui dengan tepat bakteri yang terdapat pada peda diperlukan identifikasi  lebih  lanjut.  Namun dari  beberapa uji    yang   dilakukan    maka   mikroba-mikroba tersebut   diduga dari bakteri jenis Acinetobacter, Flavobacterium, Cytophaga, Halobacterium atau Halococcus yang termasuk dalam  bakteri  gram negatif. Sedangkan untuk bakteri  gram  positif  diduga  dari  jenis Micrococcus,  Staphylococcus  dan Corynebacterium.


Perubahan Selama Fermentasi Peda
Peda   yang   baik    adalah peda yang berwarna merah, teksturnya maser, dan mengandung nutrisi yang cukup tinggi, perbandingan   nutrisi   antara  peda merah dan peda putih dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel.  Komposisi Kimia Peda dan Peda Putih

Komposisi
Peda Merah
(%)
Peda Putih
(%)
Air lemak
44-47
44-47
Lemak
7-14
1,5-7
Protein
21-22
26-37
NaCl
15-17
12-18

Mutu  peda  tersebut  sangat  dipengaruhi oleh jenis ikan yang digunakan, cara pengolahan, dan cara penyimpanannya. Selama   proses fermentasi terjadi penurunan kadar air akibat   penambahan  garam  yang sifatnya  menarik  air  bahan.  Pada  fermentasi tahap I, penambahan garam penurunan kadar air   tinggi sampai waktu  tertetu,   dan  tidak terjadi  lagi penurunan kadar air  hingga kadar airnya stabil.
Garam yang masuk kedalam daging ikan akan menyebabkan terjadinya perubahan kimia dan fisik terutama protein. Garam akan mendenaturasi protein dan   mengakibatkan koagulasi. Akibat dari proses itu, air akan keluar dari tubuh ikan dan daging ikan akan mengkerut.
Pada fermentasi tahap II akan terjadi pemecahan protein,  lemak  dan komponen lainnya.  Pada tahap itu  enzim yang   berperan adalah  enzim yang berasal  dari  jaringan  ikan. Aktivitas  enzim selanjutnya  akan merangsang aktivitas yang dihasilkan oleh mikroba. Selama fermentasi, asam-asam amino akan mengalami peningkatan akibat adanya pemecahan protein selama fermentasi. Pemecahan disebabkan oleh enzim proteolitik yang terdapat dalam jaringan  itu sendiri  dan enzim yang dihasilkan oleh mikroba.
Enzim proteolitik yang terdapat dalam jaringan  tubuh ikan terutama terdapat dalam saluran pencernaan, yaitu     bagian  pilorik caecum dan lendir usus. Pada pembuatan peda apabila bagian-bagian  tersebut   dihilangkan maka kandungan enzim proteolitik dari jaringan ikan   jauh   berkurang  dan  yang  banyak  aktif adalah enzim  dari aktivitas  mikroba. Enzim proteolitik  dari bakteri terutama dihasilkan oleh bakteri yang bersifat halofilik.
Adanya  air  mengakibatkan  proses penguraian lemak menjadi asam lemak dan gliserol   dapat   berjalan   dengan  baik.   Enzim lipase  yang  aktif dapat  berasal  dari  jaringan otot dan adiposa, juga berasal dari bakteri.
Hasil degradasi protein dan lemak dapat menghasilkan   senyawa  cita  rasa,  bau  khas pada peda disebabkan karena adanya senyawa metil keton, butil aldehid. Selain itu, kandungan asam  amino nitrogen  yang  tinggi  juga  dapat mempengaruhi  cita  rasa   peda.   Konsistensi maser pada peda sangat dipengaruhi oleh kandungan  lemak   yang  tinggi   dan  adanya enzim proteolitik yang akan mengubah tekstur ikan    sehingga   menjadi    maser.   Sedangkan warna  merah  pada  peda  selain   disebabkan bahan baku, enzim dari bakteri disebabkan pula karena   selama    fermentasi    terjadi    interaksi antara  karbonil   yang   berasal   dari   oksidasi lemak dengan gugus asam amino dan protein.