Limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3)
Sobat GPS, seperti yang kita ketahui
bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki beribu pulau yang
tersebar, selain itu hamparan laut yang luas kaya akan biota yang ada , hidup,
dan tumbuh di sana, aka penting bagi kita sebagai generasi muda untuk ikut
serta dalam menjaga dan juga melesterikannya. Secara langsung ataupun tidak
langsung kerusakan alam baik darat maupun perairan lambat laun akan berdampak
buruk bagi kehidupan manusia, dan itu dominan disebabkan oleh ulah dan tingkah
dari manusia itu sendiri, maka diperlukan kesadaran dari setiap individu untuk
bisa mengurangi kerusakan itu.
Hmmm... seperti contoh Berita GPS berikut ini yang
membahas tentang pencemaran limbah B3 yaitu Bahan Beracun Berbahaya. Seperti
apa limbah Bahan Beracun Berbahaya itu ?? Berikut sedikit penjelasan mengenai
B3..
Limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya)
Menurut
PP No. 18 th 1999, Limbah B3 adalah:
"sisa
suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun
yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan
hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup
manusia serta makhluk hidup lain.
Itinya adalah setiap materi yang
karena konsentrasi dan atau sifat dan atau jumlahnya mengandung B3 dan
membahayakan manusia, makhluk hudup dan lingkunga, apapun jenis sisa bahannya."
Sedangkan
menurut BAPEDAL (1995), definisi limbah B3 adalah:
"setiap bahan sisa (limbah) suatu proses produksi yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicty, flammability, reactiviti, dan
corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan
manusia."
Untuk mengidentifikasi limbah B3, digolongkan menjadi
2(dua) kriteria, yaitu:
1. Berdasarkan Sumber
2. Berdasarkan Karakteristik
Penjelasannya:
1. Kriteria berdasarkan Sumber, di bagi
menjadi 3(tiga), yaitu Limbah B3 dari sumber spesifik; limbah B3 dari sumber
tidak spesifik; dan limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas
kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
2. Sedangkan kriteria berdasarkan
Karakteristik, yaitu ditentukan dengan ketentuan:
Dari PP No. 18 tahun 1999, dimana
pada awalnya hanya mencantumkan 6(enam) kriteria saja.
1) Mudah meledak;
2) Mudah terbakar;
3) Bersifat reaktif;
4) Beracun;
5) Menyebabkan infeksi;
6) Bersifat korosif.
Namun pada saat ini kriteria
tersebut mengalami penambahan, yaitu:
1) Mudah meledak;
2) Pengoksidasi;
3) Sangat mudah sekali menyala;
4) Mudah menyala;
5) Amat sangat beracun;
6) Sangat beracun;
7) Beracun;
8) Berbahaya;
9) Korosif;
10) Bersifat iritasi;
11) Berbahaya bagi lingkungan;
12) Karsinogenik;
13) Teratogenik;
14) Mutagenik.
Penambahan kriteria limbah B3
berdasarkan Karakteristik ini menunjukan bahwa sebenarnya pemerintah telah
memberikan perhatian khusus terhadap pengelolaan lingkungan indonesia, namun
masih kurangnya pengimplementasian dari peraturanlah yang masih sangat kurang
di negara ini.
Nahh... itu sedikit ulasan mengenai limbah B3. Sekarang
kita lihat berita tentang pencemaran perairan oleh limbah B3 berikut ini,
langsung menuju ke- T....K....P.... !!
check it out
Ribuan Ton
Limbah Berisiko
Ribuan ton limbah, di antaranya terkontaminasi bahan
beracun dan berbahaya, mencemari daratan dan perairan Indonesia. Sebagian
limbah diimpor dari sejumlah negara, yang berisiko bagi lingkungan dan
kesehatan.
Di perairan utara Jakarta, misalnya, gumpalan minyak secara berkala mengapung di laut terbawa angin ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Tak hanya mengganggu pemandangan, limbah cucian lambung kapal tanker itu juga merusak lingkungan dan mengancam biota laut.
Hal yang sama ditemui di perairan sekitar Pulau Batam, Kepulauan Riau. Batam tergolong rentan dimasuki limbah karena posisinya yang terbuka dan berbatasan langsung dengan negara lain.
Salah satu kasus yang hingga kini belum tuntas adalah timbunan 3.800 ton ampas tembaga di samping Kantor Camat Sagulung, Batam, yang diimpor dari Korea Selatan tahun 2009. Dua warga negara Korsel dan satu warga negara Indonesia menjadi tersangka. Hingga kini, pihak perusahaan bersikukuh limbah itu adalah pasir besi, bahan pembersih karat kapal.
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Batam Dendi Purnomo mengatakan, tumpukan limbah ditangani Kejaksaan Agung dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). ”Kami hanya menunggu,” katanya, akhir pekan lalu.
Pihak KLH sudah menyatakan, ampas tembaga itu terkontaminasi limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) yang harus direekspor. Material itu bukan pasir besi. ”Rembesannya berwarna biru kehijauan. Jelas limbah B3,” kata Deputi Pengelolaan B3, Limbah B3, dan Sampah KLH Masnellyarti Hilman, Senin (30/4), di Jakarta.
Hal itu senada dengan ungkapan warga di sekitar tempat penimbunan material itu.
Lapangan penimbunan limbah dipagari batako setinggi 2 meter.
Risiko kesehatan
Paparan limbah B3 berisiko bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Di lingkungan, kontaminasi merkuri, misalnya, bisa tertransportasi ke tubuh manusia secara langsung ataupun tidak. ”Jika akumulasi berlebih di tubuh manusia, saraf dan otak bisa terganggu,” kata Masnellyarti.
Akumulasi merkuri ke dalam tubuh manusia di antaranya melalui rantai makanan, seperti pada hewan-hewan laut.
Sementara kandungan timbal berlebih di alam akan mengganggu kualitas air dan udara. Kadar timbal berlebih dalam darah manusia di antaranya menyebabkan gangguan kecerdasan dan secara langsung memengaruhi tinggi badan seseorang.
Pada kasus impor limbah B3, limbah yang sering kali dijumpai adalah sirkuit elektronik, seperti PCB. Di lingkungan industri, PCB relatif mudah dijumpai teronggok di tanah. Secara langsung, pembakaran PCB bisa menghasilkan dioksin yang mengganggu pernapasan.
Secara perlahan, material dalam PCB yang terurai dan terakumulasi bisa bersifat karsinogen atau memicu kanker.
Menurut Masnellyarti, masih banyak jenis limbah beracun dan berbahaya yang harus dikelola secara benar. Persoalannya, karena dampaknya yang kadangkala perlahan-lahan, masyarakat tidak menyadari bahwa penyakit tertentu yang mereka alami terkait dengan keberadaan limbah di sekitar mereka.
Mempertimbangkan dampak serius limbah B3 di dunia, maka disepakati keberadaan Konvensi Basel. Konvensi tersebut merupakan perjanjian internasional yang mengatur perpindahan limbah B3 antarnegara.
Proses dan pelaksanaan reekspor limbah B3, seperti yang sudah dan sedang dilakukan pemerintah saat ini, terikat dengan Konvensi Basel itu. Negara pengirim wajib memberitahukan isi dan jalur lewat kapal kepada negara-negara yang dilintasi.
Seruan Menperin
Di Jakarta, Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat menegaskan, pemeriksaan dan penahanan ribuan kontainer berisi besi bekas oleh KLH dan Kantor Bea dan Cukai hendaknya tak mengganggu proses produksi industri besi baja domestik. Salah satu caranya adalah memeriksa dengan cepat.
Ia menanggapi penahanan ribuan peti kemas rongsokan besi baja yang diduga mengandung B3 di pelabuhan besar di Tanah Air.
Beberapa kali, KLH serta Bea dan Cukai menegaskan bahwa mereka tak bermaksud memperlambat proses, apalagi mematikan industri baja Indonesia. ”Kami melepaskan ribuan kontainer yang terbukti bersih,” kata Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok Agus Yulianto.
Menurut Hidayat, ketentuan impor limbah non-B3, termasuk scrap besi baja, diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39 Tahun 2009 yang mengikat tanggung jawab. Importir di dalam negeri wajib mengirim kembali dan eksportir bersedia menerima kembali apabila terjadi kesalahan. Pihak surveyor, dalam hal ini kerja sama operasional (KSO) PT Sucofindo, bertanggung jawab terhadap hasil verifikasi.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Perindustrian Benny Soetrisno yang juga Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia mengatakan, hingga kini belum ada kesepakatan tentang definisi produk terkontaminasi B3. Bukan sekadar zero tolerance yang dipegang KLH.
”Seharusnya ada kesepakatan Kemenperin dan KLH tentang apa itu deskripsi B3. Bagaimana aturan internasionalnya? Jadi, tidak sekadar berhenti pada perdebatan saja,” ujar Benny.
Di halaman Istana Negara, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, pemerintah berkomitmen mencegah masuknya limbah bahan beracun dan berbahaya ke Indonesia. Namun, perlu disadari tidak semua kontainer berisi besi bekas mengandung limbah berbahaya.
Di perairan utara Jakarta, misalnya, gumpalan minyak secara berkala mengapung di laut terbawa angin ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Tak hanya mengganggu pemandangan, limbah cucian lambung kapal tanker itu juga merusak lingkungan dan mengancam biota laut.
Hal yang sama ditemui di perairan sekitar Pulau Batam, Kepulauan Riau. Batam tergolong rentan dimasuki limbah karena posisinya yang terbuka dan berbatasan langsung dengan negara lain.
Salah satu kasus yang hingga kini belum tuntas adalah timbunan 3.800 ton ampas tembaga di samping Kantor Camat Sagulung, Batam, yang diimpor dari Korea Selatan tahun 2009. Dua warga negara Korsel dan satu warga negara Indonesia menjadi tersangka. Hingga kini, pihak perusahaan bersikukuh limbah itu adalah pasir besi, bahan pembersih karat kapal.
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Batam Dendi Purnomo mengatakan, tumpukan limbah ditangani Kejaksaan Agung dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). ”Kami hanya menunggu,” katanya, akhir pekan lalu.
Pihak KLH sudah menyatakan, ampas tembaga itu terkontaminasi limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) yang harus direekspor. Material itu bukan pasir besi. ”Rembesannya berwarna biru kehijauan. Jelas limbah B3,” kata Deputi Pengelolaan B3, Limbah B3, dan Sampah KLH Masnellyarti Hilman, Senin (30/4), di Jakarta.
Hal itu senada dengan ungkapan warga di sekitar tempat penimbunan material itu.
Lapangan penimbunan limbah dipagari batako setinggi 2 meter.
Risiko kesehatan
Paparan limbah B3 berisiko bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Di lingkungan, kontaminasi merkuri, misalnya, bisa tertransportasi ke tubuh manusia secara langsung ataupun tidak. ”Jika akumulasi berlebih di tubuh manusia, saraf dan otak bisa terganggu,” kata Masnellyarti.
Akumulasi merkuri ke dalam tubuh manusia di antaranya melalui rantai makanan, seperti pada hewan-hewan laut.
Sementara kandungan timbal berlebih di alam akan mengganggu kualitas air dan udara. Kadar timbal berlebih dalam darah manusia di antaranya menyebabkan gangguan kecerdasan dan secara langsung memengaruhi tinggi badan seseorang.
Pada kasus impor limbah B3, limbah yang sering kali dijumpai adalah sirkuit elektronik, seperti PCB. Di lingkungan industri, PCB relatif mudah dijumpai teronggok di tanah. Secara langsung, pembakaran PCB bisa menghasilkan dioksin yang mengganggu pernapasan.
Secara perlahan, material dalam PCB yang terurai dan terakumulasi bisa bersifat karsinogen atau memicu kanker.
Menurut Masnellyarti, masih banyak jenis limbah beracun dan berbahaya yang harus dikelola secara benar. Persoalannya, karena dampaknya yang kadangkala perlahan-lahan, masyarakat tidak menyadari bahwa penyakit tertentu yang mereka alami terkait dengan keberadaan limbah di sekitar mereka.
Mempertimbangkan dampak serius limbah B3 di dunia, maka disepakati keberadaan Konvensi Basel. Konvensi tersebut merupakan perjanjian internasional yang mengatur perpindahan limbah B3 antarnegara.
Proses dan pelaksanaan reekspor limbah B3, seperti yang sudah dan sedang dilakukan pemerintah saat ini, terikat dengan Konvensi Basel itu. Negara pengirim wajib memberitahukan isi dan jalur lewat kapal kepada negara-negara yang dilintasi.
Seruan Menperin
Di Jakarta, Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat menegaskan, pemeriksaan dan penahanan ribuan kontainer berisi besi bekas oleh KLH dan Kantor Bea dan Cukai hendaknya tak mengganggu proses produksi industri besi baja domestik. Salah satu caranya adalah memeriksa dengan cepat.
Ia menanggapi penahanan ribuan peti kemas rongsokan besi baja yang diduga mengandung B3 di pelabuhan besar di Tanah Air.
Beberapa kali, KLH serta Bea dan Cukai menegaskan bahwa mereka tak bermaksud memperlambat proses, apalagi mematikan industri baja Indonesia. ”Kami melepaskan ribuan kontainer yang terbukti bersih,” kata Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok Agus Yulianto.
Menurut Hidayat, ketentuan impor limbah non-B3, termasuk scrap besi baja, diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39 Tahun 2009 yang mengikat tanggung jawab. Importir di dalam negeri wajib mengirim kembali dan eksportir bersedia menerima kembali apabila terjadi kesalahan. Pihak surveyor, dalam hal ini kerja sama operasional (KSO) PT Sucofindo, bertanggung jawab terhadap hasil verifikasi.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Perindustrian Benny Soetrisno yang juga Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia mengatakan, hingga kini belum ada kesepakatan tentang definisi produk terkontaminasi B3. Bukan sekadar zero tolerance yang dipegang KLH.
”Seharusnya ada kesepakatan Kemenperin dan KLH tentang apa itu deskripsi B3. Bagaimana aturan internasionalnya? Jadi, tidak sekadar berhenti pada perdebatan saja,” ujar Benny.
Di halaman Istana Negara, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, pemerintah berkomitmen mencegah masuknya limbah bahan beracun dan berbahaya ke Indonesia. Namun, perlu disadari tidak semua kontainer berisi besi bekas mengandung limbah berbahaya.
Sumber: (Kompas, 1 Mei 2012/ humasristek)
(GPS News)
mkasih atas kunjungannya sist, insyaallah tar pasti di tambahin..
Hapus